Kebahagiaan itu bertambah oleh orang lain, tapi tidak bergantung pada orang lain.
Dapatkah kita menjadi bahagia karena dipaksa oleh orang lain, baik orang tua maupun atasan? Jawabannya jelas tidak mungkin, karena kebahagiaan itu berasal dari dalam hati kita, bukan dari orang lain. Walaupun suasana di sekitar kita penuh sukacita, banyak orang yang menari dan bernyanyi, tetapi bila hati kita sedang gundah memikirkan sesuatu yang meresahkan, maka pasti kita tidak bahagia berada di tempat itu; malah mungkin membuat kita menjadi tidak betah tinggal di tempat itu.
Jadi kebahagiaan itu ditentukan oleh diri kita sendiri, karena itu marilah kita menset pikiran kita agar selalu bahagia dalam keadaan apa pun, bersyukurlah dalam segala hal. Kita memang tidak dapat mengubah keadaan yang sudah atau sedang terjadi di sekitar kita, tetapi kita dapat mengubah maknanya agar menjadi positif bagi diri kita sendiri. Caranya dengan melihat peristiwa yang terjadi dari sisi positif, bukan dari sisi yang merugikan kita. Misalnya saat kita dipecat dari pekerjaan kita, mungkin saat itu kita ingin marah, tetapi marilah kita lihat peristiwa tersebut dari sisi positif. Tuhan pasti memiliki rencana indah dengan berhentinya kita dari pekerjaan tersebut, misalnya ini merupakan kesempatan emas untuk memulai berwirausaha, apalagi kita juga menerima pesangon yang dapat dijadikan modal berusaha. Dengan demikian maka kita dapat bersyukur: “Terimakasih Tuhan, karena saya dipecat dari pekerjaan, sehingga saya dapat memulai usaha sendiri yang sudah dirintis bertahun-tahun.”
Kebahagiaan kita bertambah bila melihat orang di sekitar kita pun merasa bahagia, misalnya saat kita mengunjungi orang sakit, ternyata orang tersebut menyambut kita dengan penuh sukacita dan berterimakasih atas kunjungan tersebut, maka jelas kita pun menjadi sangat berbahagia.
Marilah kita menjadi sumber kebahagiaan dan menyebarkannya ke orang lain agar mereka pun menjadi bahagia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar